Coba bayangkan masa ketika uang tunai jadi raja. Kita menyimpan uang di dompet kulit, menghitung lembar demi lembar sebelum belanja, dan kadang harus menunggu kembalian receh yang entah ke mana perginya. Saat itu, mengatur keuangan artinya mencatat pengeluaran di buku kecil atau sekadar mengandalkan ingatan.
Namun, semua berubah seiring hadirnya teknologi finansial. Dalam beberapa tahun terakhir, ponsel kita perlahan menggantikan fungsi dompet. Membayar kopi pagi, tagihan listrik, hingga cicilan motor kini cukup lewat aplikasi. Uang fisik yang dulu jadi simbol “aman” kini bergeser menjadi angka-angka digital yang bisa berpindah dalam hitungan detik
Transformasi ini bukan hanya soal kemudahan, tapi juga perubahan cara berpikir. Dulu, menabung berarti menyisihkan uang di celengan atau bank. Sekarang, kita bisa menyimpan dana lewat dompet digital, reksa dana online, atau investasi emas digital. Bahkan, sebagian orang mulai mengatur cash flow harian dengan bantuan aplikasi yang otomatis mencatat setiap pengeluaran.
Perubahan ini juga membawa dampak besar bagi mereka yang dulu sulit menjangkau layanan keuangan formal. Tukang ojek, pedagang kecil, hingga pekerja lepas kini bisa menabung, menerima pembayaran, atau mendapatkan modal usaha lewat platform fintech. Di sinilah inklusi keuangan benar-benar terasa teknologi membuka pintu bagi siapapun untuk mengelola uang lebih baik.
Tentu, semua kemudahan ini datang dengan tantangan baru. Transaksi cepat bisa membuat kita lupa berhitung. Notifikasi “saldo berkurang” bisa datang terlalu sering jika tak dikontrol. Dari saku ke fintech, kita sedang menyaksikan revolusi cara mengelola uang. Bukan sekadar mengikuti tren, tapi tentang bagaimana kita beradaptasi, le
Memperluas jaringan cabang ke semua pusat kota Indonesia
read moreMempererat hubungan baik dengan perushaan supplier alat produktif, salah satunya...
read moreMelaksanakan kegiatan peduli sesama melalui program CSR "Coorporate Social Resp...
read more